A. Penyebaran Virus Komputer.
Pada dasarnya semua hukum
bertujuan untuk menciptakan suatu keadaan dalam pergaulan hidup bermasyarakat,
baik dalam lingkungan yang kecil maupun dalam lingkungan yang lebih besar, agar
di dalamnya terdapat suatu keserasian, suatu ketertiban, suatu kepastian hukum
dan lain sebagainya[1].
Kemajuan teknologi informasi menjadi awal dari keberadaan cyber crime,
secara yuridis dapat membawa dampak pada hukum yang mengatur tentang hal
tersebut. Perhatian terhadap cyber crime tersebut disebabkan dampak cyber
crime yang bersifat negatif dan dapat merusak seluruh bidang kehidupan
modern saat ini, oleh karena kemajuan teknologi komputer menjadi salah satu
pendukung kehidupan masyarakat.
Cyber Crime adalah suatu
upaya memasuki/ menggunakan fasilitas Komputer/jaringan komputer tanpa ijin dan
melawan hukum atau tanpa menyebabkan perubahan atau kerusakan pada fasilitas
komputer yang dimasuki atau digunakan tersebut atau kejahatan yang dengan
menggunakan sarana media elektronik internet (merupakan kejahatan dunia alam
maya) atau kejahatan dibidang komputer dengan secara illegal, dan terdapat
difinisi yang lain yaitu sebagai kejahatan komputer yang ditujukan kepada
sistem atau jaringan komputer, yang mencakup segala bentuk baru kejahatan yang
menggunakan bantuan sarana media elektronik internet. Dengan demikian Cyber Crime merupakan suatu
tindak kejahatan didunia alam maya, yang dianggap betentangan atau melawan
undang-undang yang berlaku, oleh karenanya untuk menegakkan hukum serta
menjamin kepastian hukum di Indonesia perlu adanya Cyber Law yaitu hukum yang
mengatasi kejahatan siber (kejahatan dunia maya melalui jaringan
internet). Teknologi informasi menyentuh
setiap aspek kehidupan modern dan tidak menutup kemungkinan dapat menimbulkan
kejahatan dalam dunia maya. Salah satu
kejahatan di dunia maya (cyber crime ) ini adalah penyebaran virus
komputer melalui e mail (cyber spamming).
Ada beberapa penggunaan teknologi komputer untuk membuat program yang
mengganggu proses transmisi informasi elektronik atau menghancurkan data di
komputer. Kasus-kasus cybercrime yang banyak terjadi di Indonesia setidaknya ada tiga jenis
berdasarkan modusnya, yaitu penyerangan situs atau e-mail melalui virus
atau mengirim virus melalui e-mail.
Virus komputer adalah
suatu program komputer yang menduplikasi atau menggandakan diri dengan
menyisipkan salinannya ke dalam media penyimpanan dokumen serta ke dalam
jaringan komputer secara diam-diam tanpa sepengetahuan pengguna komputer
tersebut. Efek dari virus komputer ini
sangat beragam mulai dari munculnya pesan-pesan aneh, sampai pada tahap merusak
dokumen atau file dan bahkan dapat merusak jaringan komputer itu
sendiri.[2]
Virus komputer ini berasal dari penciptaan pengguna komputer yang dengan
sengaja menyebarkan virus tersebut ke seluruh dunia. Virus komputer yang dimaksud sangan beragam
dengan nama tersendiri dan daya pengrusak tersendiri pula. Penyebaran virus komputer ini dapat terjadi
dengan berbagai cara termasuk penyebaran virus komputer melalui pengiriman e-mail
(cyber spamming).
Tindakan untuk menyebarkan
virus komputer melalui pengiriman e-mail (cyber spamming) ini dapat
dianggap sebagai suatu perbuatan yang layak dipidana, karena sepintas terlihat
bahwa pelaku penyebaran virus komputer melalui pengiriman e-mail (cyber
spamming) ini memiliki niat untuk merusak dokumen bahkan komputernya,
sehingga dapat merugikan pihak lain, dengan demikian terdapat unsur
pertanggungjawaban pidana di dalamnya.
Perbuatan menyebarkan virus komputer melalui pengiriman e-mail (cyber
spamming) ini tidak diatur dalam Kitang Undang-Undang Hukum Pidana. Saat ini, walaupun di Indonesia telah ada Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut Undang-Undang ITE), tetapi
tindakan penyebaran virus komputer melalui
pengiriman e-mail tidak diatur secara khusus. Namun demikian Pasal 30 ayat (2)
Undang-Undang ITE yang menegaskan beberapa perbuatan yang dilarang dan diancam
sanksi pidana, termasuk larangan mengakses komputer dan atau sistem elektronik
pihak lain secara melawan hukum, sehingga perbuatan menyebarkan virus komputer
melalui pengiriman e-mail (cyber spamming) dapat dianggap sebagai sebuah
tindak pidana.
Pasal 30
ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik mengandung unsur-unsur, baik unsur subjektif maupun objektif, yaitu
:
Unsur subjektif :
1. dengan sengaja
2.
secara
melawan hukum
Unsur
Objektif : 1. mengakses komputer
dan/atau sistem elektronik dengan cara apa pun
2.
untuk tujuan memperoleh informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU ITE, yang dimaksud dengan informasi
elektronik adalah satu atau sekumpulan
data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar,
peta, rancangan, foto, electronic data
interchange (EDI), surat elektronik (electronic
mail), telegram, teleks, telecopy,
atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang
telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya. Sementara itu, Pasal 1
angka 4 UU ITE menyebutkan, bahwa yang dimaksud dengan dokumen elektronik
adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima
atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau
sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan dan/atau didengan melalui komputer
atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara,
gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya,
huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang telah diolah
yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Selain itu, yang dimaksud dengan sistem
elektronik menurut pasal 1 angka 5 adalah serangkaian perangkat atau prosedur
elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis,
menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkanda/atau menyebarkan informasi
elektronik. Sementara itu, Pasal 1
ayat 14
Undang-Undang ITE menyatakan bahwa komputer adalah alat untuk memproses data
elektronik, magnetik, optik, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika,
aritmatika, dan penyimpanan.
Pada kasus penyebaran
virus komputer melalui pengiriman e-mail (cyber spamming) ini sulit
untuk membuktikannya, karena semua alat bukti berbentuk informasi dan /atau
dokumen elektronik, namun hal tersebut dapat dijadikan alat bukti sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE yang berbunyi :
“Informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik dan/atau hasil
cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah”
dan Pasal 5 ayat (2) UU
ITE juga menegaskan bahwa :
“Informasi elektronik
dan/atau Dokumen elektronik dan/atau
hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan perluasan dari alat
bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia”
Dengan demikian, alat
bukti yang digunakan hakim untuk menjatuhkan putusan pada perkara pidana ,
dapat diperluas dari ketentuan alat bukti sebagaimana telah diatur dalam pasal
184 KUHAP, yaitu bahwa alat bukti yang sah adalah :
- keterangan saksi;
- keterangan ahli;
- surat;
- petunjuk;
- keterangan terdakwa.
Ketentuan mengenai alat
bukti di atas merupakan ketentuan hukum acara pidana yang bersifat memaksa (dwingen recht), artinya semua jenis alat
bukti yang telah diatur dalam pasal tersebut tidak dapat ditambah atau
dikurangi[3].
- Conviction in time theory, yaitu sistem pembuktian yang menyatakan bahwa salah tidaknya seorang terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakim ini dapat diperoleh melalui alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan.
- Conviction Raisonee Theory, merupakan sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim untuk menentukan salah tidaknya terdakwa, namun dalam sistem ini keyakinan hakim dibatasi dan harus didasari dengan alasan-alasan yang jelas dan dapat diterima yang wajib diuraikan dalam putusannya.
- Teori Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif, merupakan pembuktian yang berlatar belakang sistem pembuktian berdasarkan keyakinan atau Conviction in time theory. Pembuktian pada sistem ini didasari dengan alat-alat bukti yang sah yang telah ditetapkan oleh undang-undang disertai keyakinan hakim dalam menentukan salah tidaknya terdakwa.
- Teori Pembuktian menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijke stelsel), merupakan sistem pembuktian yang menggunakan teori perpaduan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau Conviction in time theory. Rumusan teori ini adalah bahwa salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan pada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Sementara itu, sistem
pembuktian yang dianut oleh KUHAP adalah sistem pembuktian menurut
undang-undang secara negative, karena merupakan perpaduan antara sistem
pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau Conviction in time theory.
Hal ini terlihat dari ketentuan Pasal 183 KUHAP yang menegaskan bahwa
hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah
ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Berbicara mengenai alat
bukti petunjuk, tidak terlepas dari ketentuan Pasal 188 (2) KUHAP yang
membatasi kewenangan hakim dalam memperoleh alat bukti petunjuk, yang secara
limitatif hanya dapat diperoleh dari [5]:
- keterangan saksi;
- surat;
- keterangan terdakwa.
Berdasarkan hal di atas,
alat bukti petunjuk hanya dapat diambil dari ketiga alat bukti di atas. Pada umumnya, alat bukti petunjuk baru
diperlukan apabila alat bukti lainnya belum mencukupi batas minimum pembuktian yang
diatur dalam pasal 183 KUHAP di atas.
Dengan demikian, alat bukti petunjuk merupakan alat bukti yang
bergantung pada alat bukti lainnya yakni alat bukti saksi, surat dan keterangan terdakwa. Alat bukti petunjuk memiliki kekuatan
pembuktian yang sama dengan alat bukti lain, namun hakim tidak terikat atas
kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk, sehingga hakim bebas untuk
menilai dan mempergunakannya dalam upaya pembuktian[6].
Selain itu, petunjuk sebagai alat bukti tidak dapat berdiri sendiri
membuktikan kesalahan terdakwa, karena hakim tetap terikat pada batas minimum
pembuktian sesuai ketentuan Pasal 183 KUHAP.
Informasi elektronik atau
dokumen elektronik dapat dianggap sebagai petunjuk, yang merupakan perluasan
dari alat bukti surat
sebagai bahan untuk dijadikan petunjuk bagi hakim dalam membuktikan suatu
perkara termasuk kasus penyebaran virus komputer melalui pengiriman e-mail
yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya.
Tindak
pidana penyebaran virus komputer melalui pengiriman e-mail (cyber spamming) dimungkinkan melibatkan
lebih dari satu sistem hukum atau menyangkut sistem hukum beberapa negara,
sehingga dapat dikategorikan sebagai kejahatan transnasional. Pada praktiknya terdapat banyak faktor yang
menyebabkan adanya kepentingan lebih dari satu negara dalam suatu kejahatan,
baik pelakunya, korbannya, tempat terjadinya kejahatan atau perpaduan
unsur-unsur tersebut.
Ada beberapa dimensi yang dapat dijadikan
pedoman dalam menentukan bahwa suatu kejahatan itu merupakan kejahatan
transnasional, yakni[7] :
1. Tempat terjadinya kejahatan nasional di luar wilayah negara yang
bersangkutan tetapi menimbulkan akibat dalam wilayahnya, dalam hal ini ada
kepentingan satu negara atau lebih yang
terkait dengan kejahatan itu.
2. Korban suatu kejahatan nasional
tidak semata-mata dalam wilayah negara itu sendiri tetapi juga terdapat
di wilayah negara lain atau di suatu tempat di luar wilayah negara.
3. Kejahatan yang terjadi dalam wilayah suatu negara tetapi pelakunya
adalah negara yang bukan warganegaranya.
Selain itu, terdapat beberapa cara
yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi suatu kejahatan sebagai kejahatan
transnasional, yaitu[8] :
1. Tempat terjadinya kejahatan
2. Kewarganegaraan pelaku dan
atau korbannya
3. Korban yang berupa harta benda bergerak dan atau benda tidak
bergerak milik pihak asing.
4. Perpaduan antara butir 1,2 dan 3
5. Tersentuhnya nilai-nilai kemanusiaan universal, rasa keadilan dan
kesadaran hukum umat manusia
Tindak pidana penyebaran
virus melalui pengiriman e-mail dapat melibatkan orang-orang dari
berbagai negara, menjadikan sebagai kejahatan transnasional, sehingga dalam
proses penegakan hukumnya, harus pula memperhatikan jalinan kerjasama antara
kepolisian Indonesia
dengan negara-negara lain. Berbicara
mengenai cyber spamming sebagai kejahatan transnasional erat kaitannya
dengan beberapa yurisdiksi yaitu , yurisdiksi untuk menetapkan undang-undang (The
Juridiction to Prescribe), yurisdiksi untuk menghukum (The Juridicate to
Enforce) dan yurisdiksi untuk
menuntut (The Jurisdiction to Adjudicate). Pada The Jurisdiction to
Adjudicate terdapat beberapa asas yaitu :
- Asas Subjective Territorial yaitu berlaku hukum berdasarkan tempat pembuatan dan penyelesaian tindak pidana dilakukan di Negara lain,
- Asas Objective Territorial yaitu hukum yang berlaku adalah akibat utama perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak kerugian bagi Negara yang bersangkutan,
- Asas Natonality adalah hukum berlaku berdasarkan kewarganegaraan pelaku,
- Asas Passive Natonality adalah hukum berlaku berdasarkan kewarganegaraan korban,
- Asas Protective Principle adalah berlakunya berdasarkan atas keinginan Negara untuk melindungi kepentingan Negara dari kejahatan yang dilakukan diluar wilayahnya dan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar